Minggu, 13 Januari 2013

Pengembangan Kepemimpinan Dalam Diri Sendiri



A.    Pengertian
Kepemimpinan adalah proses pengaruh mempengaruhi antar pribadi atau antar orang dalam suatu situasi tertentu melalui proses komunikasi, yang terarah untuk mencapai suatu tujuan tertentuJohn C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau mendapat pengikut.[1] Pemimpin adalah inti dari manajemen, ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/ pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama.
Dalam hal pengembangan kepemimpinan adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan ketingkat yang lebih tinggi. Inti kepemimpinan adalah pengaruh, yaitu kemampuan untuk mendapatkan pengikut dan juga merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar orang lain itu mau mengikuti dengan rela dan sadar, inilah yang perlu dikembangkan mulai dari tingkat awal sampai ketingkat yang paling tinggi.
Joe Reynolds mengungkapkan terkait tentang pengembangan kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang positif, selalu berusaha untuk mewujudkan visi pribadi akan hasil terbaik dengan bekerja sama saling menguntungkan dengan orang lain. Kepemimpinan yang positif mencakup:[2]
1. Tindakan individu-individu yang produktif dan bertanggung jawab oleh pemimpin maupun pengikutnya.
2.      Kontribusi untuk diri sendiri, masyarakat, organisasi, Negara, dan seluruh umat manusia.
3.      Pemimpin dan pengikut melakukan apa yang mereka ingin lakukan disamping menjadi apa yang mereka cita-citakan.
4.      Resiko dan pengorbanan.

B.     Tahapan pengembangan kepemimpinan
Kemudian dalam pengembangan kepemimpinan terdapat beberapa tahap/ tingkat kepemimpinan. John C. Maxwell (1995), membagi tingkat kepemimpinan menjadi lima tingkat:[3]
1.      Tingkat pertama : Kedudukan/ hak
Ini adalah tingkat kepemimpinan awal yang mendasar. Satu-satunya pengaruh yang dimiliki adalah dibawa oleh jabatan. Orang yang berada pada tingkat ini memasuki peta hak wilayah, protokol, tradisi, organisasi, dan mungkin dia punya wewenang. Tatapi kepemimpinan yang sesungguhnya lebih dari hanya memiliki wewenang. Kepemimpinan yang sesungguhnya adalah menjadi orang yang diikuti orang lain dengan senang hati dan penuh keyakinan
2.      Tingkat kedua : Izin/ hubungan
1.      orang berada pada tingkat izin/ hubungan ini akan memimpin dengansalinghubungan
2.      kepemimpinan tumbuh subur dengan hubungan yang berarti, bukan peraturan lebih banyak.
3.      orang mengikuti karena mereka berkeinginan mengikuti.
4.      orang akan mengikuti melampaui wewenang yang dinyatakan.
5.      tingkat ini memungkinkan pekerjaan bisa menyenangkan
3.      Tingkat ketiga : Produksi/ hasil
1.      pada tingkat ini segala hal yang baik mulai terjadi. Keuntungan meningkat, moral tinggi, kebutuhan terpenuhi, dan tujuan direalisasi.
2.      disinilah sukses dirasakan oleh kebanyakan orang
3.      memimpin dan mempengaruhi orang lain menyenangkan
4.      masalah terpecahkan dengan usaha minimum, karena adanya momentum
5.      orang mengikuti karena apa yang telah pemimpin lakukan untuk organisasi.
4.      Tingkat keempat: Pengembangan manusia/ reproduksi
1.      pada tingkat ini pertumbuhan jangka panjang terjadi
2.      komitmen untuk mengembangkan pemimpin akan memastikan pertumbuhan yang terus berlangsung bagi organisasi dan orang
3.      tanggung jawab utama seorang pemimpin adalah mengembangkan orang lain untuk melakukan pekerjaan
4.      orang mengikuti karena apa diri pemimpin dan apa yang pemimpin lakukan bagi mereka.
5.      Tingkat kelima : Kemampuan menguasai pribadi/ rasa hormat
1.      pada tingkat ini orang mengikuti karena siapa diri pemimpin dan apa yang pemimpin wakili
2.      pada tingkat ini dicadangkan bagi pemimpin yang telah melewatkan waktu bertahun-tahun menumbuhkan orang lain dan organisasi
3.      hanya sedikit yang berhasil ke tingkat ini.
C.     Mengembangkan Kepemimpinan Dalam Diri
Proses pengembangan kepemimpinan dalam diri pemimpin itu sendiri adalah usaha untuk menemukan/ menjadi pemimpin yang sejati. Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau tranformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out ).
Dalam pengembangan kepemimpinan menuju kepemimpinan yang baik dan positif setidaknya harus memiliki kualitas-kualitas seperti; kematangan emosional, kompetensi teknik, pengabdian, kematangan pertimbangan, empati, semangat, dan disipin. Selain itu dalam usaha mengembangkan kepemimpinan dalam diri terdapat tujuh karakteristik umum yang harus dimiliki yaitu: integritas, empati, pengertian, keberanian, komitmen, keyakinan, dan komunikasi. Sifat-sifat tersebut meresap keseluruh budaya pemimpin, atau organisasi.[4]
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan pekerjaan, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard; bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala – galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kepemimpinan berkaitan dengan tujuh karakteristik yang telah dijelaskan, yakni[5]:
1.       Integritas
Integritas adalah perjuangan yang gigih untuk mencari apa yang benar, bukannya siapa yang benar. Memiliki integritas berarti bersedia menerima tanggung jawab. Tanda dari integritas adalah tingkah laku yang mengungkapkan hati nurani dan keyakinan. Integritas kepemimpinan menuntut agar sang pemimpin mengatakan pada masyarakat apa yang perlu didengarkan, meskipun mereka tidak ingin mendengarnya.
2.       Empati/ kasih sayang
Kasih sayang merupakan hasil dari keseimbangan yang produktif dan bertanggung jawab antara individualisme dan kerjasama tim.
3.       Pengertian/ pemahaman
Pemahaman adalah kekuatan persepsi yang arif sehingga membuat seseorang mampu manggunakan informasi secara efektif. Pemahaman mencakup mencegah kelangkaan informasi dan juga kelebihan informasi. Pemahaman mencakup pengertian masa lalu, kesadaran akan masa sekarang, dan visi tentang masa depan. Pemimpin harus mampu mengintegrasikan masa sekarang dengan masa yang akan datang, kemudian memproyeksikannya untuk membentuk masa yang akan datang.
4.       Keberanian
Kararteristik yang ke empat dari kepemimpinan adalah keberanian, yaitu keberanian untuk menindak lanjuti keyakinan-keyakinan dengan keteguhan untuk menghadapi tantangan yang terus menerus. Keberanian untuk berkorban dan mengambil resiko serta tidak mementingkan diri sendiri. Keberanian juga merupakan mengatasi berbagai kesulitan dengan gigih. Keberanian bukan berarti tiadanya ketakutan, keberanian adalah mengakui adanya ketakutan akan tetapi menghadapi ketakutan itu secara positif dan bertanggung jawab. Berani berarti mencari tantangan dan mengatasinya.
5.       Komitmen
Seorang yang memiliki komitmen itu lebih kuat dibandingkan banyak orang yang hanya memiliki minat. Tingkat komitmen merupakan kunci yang sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan. Seorang pemimpin harus memiliki komitmen dan menciptakan komitmen pada diri orang lain dengan persetujuan, bukan paksaan.
6.       Keyakinan
Keyakinan merupakan ketergantungan yang kuat pada nilai-nilai, kepercayaan, dan kompetensi diri sendiri maupun orang lain. Keyakinan memang termasuk keberanian, tatapi keyakinan juga merupakan kelanjutan dari keberanian. Pemimpin yang baik mengerti bahwa keyakinan yang diperlihatkan dengan tindakan dapat memberi inspirasi. Keyakinan datang dari perjuangan-perjuangan menghadapi tantangan-tantangan yang kemudian dapat diatasinya. Yang terpenting adalah tekad yang kuat dan akan melahirkan keyakinan yang tinggi.
7.       Komunikasi
Keyakinan membentuk pandangan yang kuat, dan kemampuan berkomunikasi seorang pemimpin terkait dengan pandangan-pandangannya. Sebagaimana dalam kompetensi tidak efektif tanpa nurani, demikian juga tidak efektif kata-kata tanpa perbuatan. Seorang pemimpin yang baik memimpin dengan memberikan contoh, dan mendukung tingkah lakunya dengan persuasi verbal. Komunikasi kepemimpinan terletak pada kekuatan persuasi yang dibarengi otoritas. Segala macam bentuk komunikasi merupakan alat bagi pemimpin untuk memberikan inspirasi pada orang lainuntuk meraih yang lebih tinggi dengan harapan, hati, pikiran, dan tangan mereka.
Kemudian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam mengembangkan kepemimpinan di dalam diri pemimpin :
1.       menentukan prioriotas
Yakni mendahulukan kepentingan orang lain dari pada dirinya pribadi, dengan mempertimbangkan banyaknya kemaslahatan yang banyak yang ada didalamnya. Menentukan dan mendahulukan sesuatu hal yang lebih penting dan bersifat urgen bagi kepentingan bersama.
2.       membina integritas
Sebagaimana dijelaskan diatas, membina dan menumbuhkan integritas yang ada dalam diri, dengan bersikap tegas dan penuh tanggung jawab yang diaplikasikan dalam tingkah laku/ tindakan yang berdasarkan kesesuaian dengan hati nurani dengan penuh keyakinan dan wibawa.
3.       menciptakan perubahan positif
Yang harus diperhatikan juga dalam pengembangan kepemimpinan adalah bagaimana caranya seorang pemimpin dapat menciptakan perubahan yang positif, menjadikan suasana kondusif yang menghasilkan perubahan yang lebih baik dan penuh dengan atmosfir optimis dalam melangkah dan menatap masa depan.
4.       mengatasi pemecahan masalah
Seorang pemimpin juga harus peka dan tanggap terhadap masalah yang ada, dan dituntut untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Oleh karenanya seorang pemimpin harus memiliki skill/ ketrampilan dalam problem solving atau dalam mengambil keputusan untuk memecahkan/ mengambil jalan keluar terhadap suatu masalah yang ada.
5.       memupuk sikap positif
Selain tanggap terhadap masalah yang ada, seorang pemimpin juga dituntut untuk dapat memupuk dan membangun sikap positif yang dimulai dari dalam diri pemimpin itu sendiri dan dari sanalah maka akan timbul aura positif yang akan membawa disekitar/sekelilingnya terbawa menjadi positif pula. Yang akan menciptakan suasana yang penuh dengan semangat yang luar biasa, dan hubungan yang sangat baik antara pemimpin dengan bawahannya.
6.       mengembangkan manusia
mengembangkan manusia yang dimaksud disini adalah mengembangkan potensi yang ada dalam diri dan sumber daya manusia agar mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki.
7.       memperluas wawasan
memperluas wawasan ini merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam mengembangkan kepemimpinan, dengan wawasan inilah yang menjadikan seorang pemimpin memiliki kewibawaan dan kharismatik yang tinggi. Dan upaya meningkatkan intelegensi seorang pemimipin tersebut.
8.       membina disiplin pribadi
membina disiplin ini juga merupakan faktor yang paling penting dalam mewujudkan kepemimpinan yang baik dan teratur. Dengan disiplin ini maka suatu organisasi atau lembaga kepemimpinan akan terorganisir dengan baik dan teratur. Dan itu dimulai dari dalam diri seorang pemimpin terlebih dahulu. Yang kemudian akan mempengaruhi suasanya disekitarnya.
9.       melaksanakan pengembangan staf.
  Salah satu upaya pengembangan kepemimpinan juga yakni melaksanakan pengembangan staf, yaitu mengelola sumber daya manusia yang tidak hanya ditinjau dari segi kuantitas akan tetapi juga dari segi kualitas yang memadai. Dari kualitas maka akan tercipta suatu kerja sama yang terjalin dengan baik.[6]


[1] John Adair, Membina Calon Pemimpin, (Jakarta; Bumi Aksara,1993), hal. 3-4

[2] Joe Reynolds, Kepemimpinan Garis Terdepan,( Yogyakarta:Aditya Media, 1996) hal. 15
[3] Nur Munajat, Hand out 13 Leadership, hal.1-4

[5] Joe Reynolds, Kepemimpinan Garis...hal. 35-47

[6] Ibid, hal.50-71

Ibnu Khaldun (pemikiran filosofisnya)



A.    Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun nama lengkapnya adalah Abdullah abd al- Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Beliau hidup dan berkembang dalam sebuah keluarga asli arab dari Qabilah Yamani yang menekuni ilmu dan politik. Ayahnya bernama Abu Abdullah Muhammad. Ayahnya adalah seorang yang berkecimbung dalam dunia perpolitikan, kemudian ayahnya mengundurkan diri dari bidang politik dan dia menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Ayahnya sangat ahli dalam bahasa dan sastra arab. Ayahnya meninggal pada tahun 794H/384M akibat wabah pes yang melanda afrika utara, pada saat itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.[1]
Pada tahun 1362 Ibnu Khladun pindah ke Negara Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada, ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro (raja Granada) dan raja Castila di Sevilla. Karena kecakapan yang luar biasa, ia ditawari kerjasama oleh penguasa kristiani, dengan imbalan tanah bekas milik keluarganya dikembalikan kepadanya.akan tetapi Ibnu Khaldun pada akhirnya memilih bekerjasama dengan raja Granada, dan ia memboyong keluarganya dari Afrika. Ia tidak lama tinggal di Granada. Ia selanjutnya kembali ke afrika dan diangkat menjadi perdana mentri oleh sultan al-jazair.
Pada tahun 1382, ia melaksanakan ibadah haji. Setelah melaksanakan haji, ia kemudian berangkat ke Iskandariah dan selanjutnya ke Mesir. Di Mesir, ia kemudian diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk. Selain dikenal sebagai filosof, Ibnu Khaldun juga terkenal sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap bidang pendidikan. Pada tahun 1406, Ibnu Khaldun meninggal di Mesir pada usia 74 tahun.
Pendidikan pertama yang beliau pelajari pada masa kecilnya adalah mempelajari dasar-dasar ilmu bahasa arab tentang pemahaman dasar-dasar Al-Qur’an, beliau belajar ini kepada gurunya yang bernama Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Said Al-Anshary. Beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menekuni ilmu pengetahuan Tidak sedikit guru-guru yang telah beliau timba ilmunya, antara lain Syaikh Abu Abdullah Ibn al- Arabial- Hasyiri, , Muhammad Al-Syawas Al-Zarazli, Ahmad Ibn Al-Qassar (bellajar ilmu Hadis, Bahasa Arab, Fiqh), Abdullah Muhammad Ibn Abd al-Salam (tentang kitab al- Muwattha’ karya Imam Malik), Muhammad Ibn Sulaiman al-Satti, Abdullah al-Muhaimin al-Hadrami, dan Muhammad Ibn Ibrahim al-Abili (belajar ilmu- ilmu pasti, Logika dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran disamping dua ilmu pokok (Al-Qur’an dan Hadis).[2]

B.     Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah[3]:
a.       Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya fikiran dan kematangan individu, yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
b.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka mewujudkannya masyarakat yang maju dan berbudaya.
c.       Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia.
2.      Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berfikir. Manusia dalam berfikir mengalami tingkatan-tingkatan tertentu, yakni:[4]
a.       Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta, tatanan alam atau tata yang berubah-ubah. Intelektualitas manusia dapat memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk, salah dan benar, terpuji dan tercela. Ibnu Khaldun menyebutnya sebagai akal pembela atau al-aql at-tamyizi.
b.      Daya intelektualitas manusia yang didukung oleh pengalaman hidupnya yang disebut sebagai akal eksperimental atau al-‘aql at tajribi.
c.       Daya berfikir hipotesis yang melengkapi kesempurnaan intelektualitas manusia melalui ketajaman analisis masalah yang dihadapi, sehingga dapat memperkirakan sebagai kemungkinan secara rasional dan spekulatif. Cara berfikir hipotesis harus didukung oleh ilmu, artinya manusia dalam intelektualitas tingkatan ketiga sudah membekali diri dengan ilmu dan dengan appersepsi terhadap sesuatu yang ada dibelakang segala hal yang sifatnya indrawi. Relitas intelektual seperti ini tidak memutlakkan keberadaan yang indrawi sebab tidak semua yang wujud harus inderawi dan yang inderawi harus wujud. Sesungguhnya realitas itu bersifat fenomenal, menurut apa adanya dan keadaan dirinya. Inilah yang disebut sebagai realitas kemanusiaan atau al-haqiqah al-insaniyyah.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:[5]
a.       Yaitu Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b.      Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah Nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al- Quran dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istimbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Quran itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbath.
c.       Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk didalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku (behavior) manusia, termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal ini merupakan suatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah.
Di antara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:[6]
1)      Ilmu Syari’ah dengan semua jenisnya.
2)      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3)      Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
4)      Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang pertamakali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-quran kepada anak termasuk syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-quran yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.
3.      Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:[7]
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.       Menghindari kekerasan dalam mengajar.  

4.      Peserta Didik
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai yang belajar (muta’alim) atau seorang yang perlu bimbingan (wildan). Dalam posisinya sebagai muta’alim, peserta didik dituntut mengembangkan segala potensi yang Allah anugerahkan kepadanya. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah-nya telah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seorang  muta’alim bisa berhasil dalam studinya.[8]
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai subjek didik, bukan objek didik, yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Ini menandakan bahwa Ibnu Khaldunmemiliki pandangan yang optimistik terhadap peserta didik. Peerta didik bagi Ibnu Khaldun merupakan subjek didik yang dituntut kreativitasnya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya. Perlakuan ini membuat pendidikan sebagai ajang atau wahana yang dapat menumbuhkan kreativitas peserta didik. Peserta didik sebagai subjek didik dituntut aktif dan kreatif dalam melakukan proses belajarnya. Adapun dalam posisinya sebagai wildan, Ibnu Khaldunmemandang peserta didik sebagai seorang anak manusia yang memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing dalam kedewasaan. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagaui objek didik yang memerlukan guru sebagai subjek belajar.
Adanya perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam merujuk pengertian peserta didik, sebenarnya menandai adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Konsepsi ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Misalnya, Ibnu Khaldun berkata: “ketahuilah bahwa mengajarlkan Al-Quran kepada wildan merupakan suatu syiar dari syiar agama”. Di sini, Ibnu Khaldun menggunakan kata wildan bagi peserta didik yang belajar Al-Quran. Mengapa? Karena dalam tradisi Islam, pendidikan Al-Quran disampaikan sejak permulaan, yakni pada jenjang pendidikan dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’alim yang dituntut mandiri dalam mengembangkan potensinya. Konsepsi ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat tinggi. Pada tahap ini, karena peserta didik sudah dapat berfikir rasional dan logis, maka mereka disebut muta’alim.  
5.      Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanya akan efektif bila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak, dan sedikit demi sedikit. Mengajar dengan hal-hal yang sederhana lebih dahulu kepada hal-hal yang kompleks. Pertama-tama guru mengajarkan kepada muridnya problem-problem yang prinsipil mengenai setiap cabang pembahasan yang diajarkan. Keterangan-keterangan yang diberikan haruslah bersifat umum dan menyaluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal dan kesiapan pelajar memahami apa yang diberikan kepadanya. Bila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok telah dipahami, pelajar yang bersangkutan telah memperoleh suatu keahlian yang masih harus dilengkapi, sehingga hasil keseluruhan keahlian itu dapat menyiapkannya memahami seluruh pembahasan pokok dengan segala seluk beluknya.[9]
Selanjutnya, menjadi kewajiban guru kembali kepada pembahasan pokok, dan meningkatkan pengajaran kepada tingkat yang lebih tinggi. Kali ini guru tidak boleh puas hanya dengan cara pembahasan bersifat umum saja. Tetapi dia harus membahas segi-segi yang menjadi pertentangan dari berbagai pandangan yang berbeda, sehingga pembahasan seluruhnya sekali lagi diliput dan keahlian pelajaran yang bersangkutan lebih disempurnakan.
Kemudian pada suatu kali pelajar yang sudah terlatih harus digiring kepada masalah pokok yang dibahas. Pada tahap ini tidak ada masalah penting, bagaimana sulitnya atau yang menjadi pokok perbantahan, boleh ditinggalkan dan tak terbahas. Semua harus diterangkan kepada si murid itu, hingga dia memungkinkan mencapai keahlian yang sempurna.
Pandangan Ibnu Khaldun yang demikian dirangkum oleh Mustofa Amin dalam Tarikh al-Tarbiyah. Beliau membagi tiga tahap:pertama, diberikan kepada murid pokok-pokok masalah (bahasan) dari tiap-tiap bab dari ilmu yang akan dikerjakan. Dijelaskan secara global dari bab demi bab sampai akhir ilmu itu. Kedua, hendaknya guru mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan pada langkah pertama, dari awal secara terinci, tidak ada lagi yang mujmal dan membahas yang khilaf. Ketiga,agar guu mengulangi lagi pelajaran yang sudah diberikan dari awal (semacam review). Tidak ada lagi kesulitan/keraguan dalam pelajaran. Menurut Ibnu Khaldun penyajian pelajaran yang berhasil melalui tiga langkah pengulangan tersebut. Bila dianalisis secara detail metode yang dikemukakan Ibnu Khaldun, relevan dengan pendapat para ahli pendidikan modern yang memunculkan metode-metode pengajaran yaitu: Pertama,metode tadriji (berangsur-angsur). Metode tadriji ini juga sesuai dengan kondisi psikologis manusia, yang tidak dapat menerima materi sekaligus dalam jumlah banyak, tetapi sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur. Kedua, metode repetisi (pengulangan). Dikalangan para pendidik modern, metode repetisi dekat dengan metode evaluasi yaitu mengulang pelajaran yang telah disampaikan, untuk mengetahui sampai delama tingkat penguasaan para pelajar terhadap materi yang disampaikan guru. Pengulangan juga jangna terlalu banyak, sebab bagi pelajar yang cerdas akan membosankan. Kalau diamati metode yang disebut Ibnu Khaldun, hanya tiga kali pengulangan, dan pada kali ketiga juga hanya semacam review. Jadi pada kali ketiga ini murid sudah dapat menguasai materi. Ketiga, dari dua metode yang telah disebutkan diatas, memungkinkan sekali hasil yang dicapai pelajar dapat menguasai secara tuntas terhadap materi yang telah diajarkan. Jadi jika dikaitkan dengan teori pendidikan modern, Ibnu Khaldun telah melaksakan pengajaran tuntas (mastery learning).[10]   
6.      Kurikulum
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu pengetahuan syar’iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syar’iyyah berkenaan dengan hukum dan ajara agama Islam. Ilmu ini diantaranya adalah tentang al-Qur’an, Hadis, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemempuan untuk menguasainya dengan baik.[11]
Ilmu pengatahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemempuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
Ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwa, ilmu balaghah, dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu matakuliah yang menjadi pendukung untuk memahami islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika, yang tergolong dalam al-ulum al-aqliyah. Ketiga, kurikulum primer, yaitu matakuliah yang menjadi inti ajaran islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al-ulum al-naqliyah, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qira’at, ilmu ushul figh dan fiqih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain.[12]
7.      Spesialisasi
Menurut Ibnu Khaldun, orang yang mendapat keahlian dalam salah satu pertukangan jarang sekali yang ahli dalam pertukangan lainnya, misalnya tukang jahit. Hal ini disebabkan karena sekali seseorang telah menjadi ahli dalam menjahit hingga keahliannya itu tertanam berurat berakar dalam jiwanya, maka setelah itu ia tidak akan ahli dalam pertukangan batu atau kayu, kecuali apabila keahlian yang pertama itu belum tertanam dengan kuat dan belum memberi corak terhadap pemikirannya. Hal ini juga didasarkan pada alasannya bahwa keahlian itu adalah sifat atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak. Dan yang mereka pikirkan masih mentah, dan dalam keadaan masih kosong akan lebih mudah mendapatkan keahlian-keahlian baru yang dapat mereka peroleh dengan lebih mudah. Tetapi apabila jiwa itu telah bercorak dengan semacam keahlian tertentu dan tidak lagi dalam keadaan kosong, maka cetakan keahlian itu akan menjadikan jiwa itu kurang tertarik dan kurang bersedia menerima keahlian-keahlian baru.[13]
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak sangat dipengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik, dalam rangka melakanakan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik.


[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 281
 [2] Ibid., hlm.282
[3] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.242.
[4] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2009), hal.232-233.
[5] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.175-176.
[6] Ibid, hal.176.
[7] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 94-95.
[8] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.244..

[9] Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 262.
[10] Ibid, hal. 262-264.
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 95.
[12] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.249.
[13] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 178